Utama
Kampus Melati SMA 10 Samarinda SMA Melati Yayasan Melati SMAN 10 Aliansi Siswa SMAN 10 Samarinda Aliansi Smaridasa Castro 
Pakar Hukum: Semestinya Yayasan Melati yang Angkat Kaki
SELASAR.CO, Samarinda - Siswa dan siswi dari SMAN 10 Samarinda serta orangtua murid menggelar aksi di depan kantor Gubernur Kaltim pada Rabu 16 Juni 2021 kemarin. Menggunakan atribut seragam sekolah lengkap, terlihat siswa-siswi SMA 10 juga turut membawa poster dan spanduk bertuliskan penolakan rencana pemindahan aktivitas sekolah mereka ke dari Kampus A ke Kampus B.
Sebagai informasi, sebelumnya Yayasan Melati melakukan aksi pengeluaran atribut sekolah SMAN 10 yang terpasang di dalam gedung asrama hingga kantor guru. Pihak yayasan beralasan sedang menjalankan disposisi dari gubernur, agar pihak sekolah segera mengosongkan Kampus A di Jalan HAMM Riffadin dan pindah ke Kampus B di Jalan Perjuangan.
Sengketa antara Pemprov Kaltim dan Yayasan Melati sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, sengketa ini juga sudah dibawa ke meja hijau hingga tingkat Mahkamah Agung (MA). Disampaikan pakar hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah, berdasarkan putusan Kasasi (Nomor 64 K/TUN/2016) maupun PK (Nomor 72 PK/TUN/2017), telah secara tegas menolak permohonan Yayasan Melati. Yang artinya, putusan dalam perkara ini sudah final (inkracht), yang berarti tidak ada lagi upaya hukum lainnya.
“Dalam putusan Kasasi dan PK tersebut, MA setidaknya mengurai dua hal secara eksplisit, yakni: satu, menolak permohonan Yayasan Melati, dimana menurut MA, baik secara judex facti maupun judex juris, putusan PN, PT, hingga Kasasi sudah tepat dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapannya. Dua, MA menegaskan bahwa pemegang hak pakai tanah di lokasi tersebut adalah Pemprov Kaltim, sedangkan Yayasan Melati hanya bersifat pinjam pakai. Oleh karena itu, SK Gubernur Nomor 180/K.745/2014 yang mencabut status pinjam pakai Yayasan Melati itu, sudah sesuai dengan prosedur,” ujarnya.
Berita Terkait
Herdiansyah Hamzah.
Pria yang juga akrab disapa Castro ini pun menyebut bahwa berdasarkan putusan kasasi dan PK itu, semestinya Yayasan Melati yang dipersilakan angkat kaki dari lokasi tersebut, bukan sebaliknya. Sebab secara hukum, pemegang hak pakai tanah adalah Pemprov Kaltim. Dalam posisi ini, seharusnya Pemprov Kaltim memberikan prioritas penggunaan lokasi dan fasilitas kepada SMAN 10, mengingat urgensinya sebagai sarana pendidikan.
“Tapi anehnya, kenapa justru pihak Yayasan Melati yang bersikeras memindahkan sekolah dari lokasi, bahkan dengan cara yang diduga merusak fasilitas sekolah?" tanya Castro.
Jika nantinya benar-benar terbukti, aksi pengerusakan terhadap fasilitas sekolah ini ia sebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana murni. Bisa disangkakan dengan delik pidana pengerusakan barang milik orang lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 406 KUHP. Ancaman pidananya paling lama 2 tahun 8 bulan.
“Jadi untuk memberikan efek jera, mestinya hal ini diproses secara hukum, tidak boleh didiamkan. Sebab tiada seorang pun diperboleh merusak barang orang lain, terlebih fasilitas sekolah yang merupakan milik publik. Mendiamkan peristiwa ini, justru akan menjadi preseden buruk ke depannya,” imbuhnya.
“Yang lebih aneh bin ajaib lagi adalah sikap Pemprov dan jajarannya yang cenderung diam. Ini tentu sangat kita sayangkan,” kata Castro.
Hal ini karena sebagai pemegang hak pakai tanah, harusnya Pemprov mengambil alih kendali. Termasuk menghalangi serta mengambil tindakan tegas terhadap siapapun yang mencoba merusak aset dan fasilitas milik negara. Terkecuali jika memang Pemprov tidak memiliki kepedulian sama sekali terhadap perkara yang menimpa SMA 10 ini.
“Oleh karena itu, Pemprov harus tegas dan punya keberpihakan. Sebab perkara ini tidak sekadar tanah dan aset, tapi menyangkut masa depan pendidikan di Kaltim, masa depan anak-anak kita semua,” pungkasnya.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan