Utama

Ritual Tolak Bala  Ombau Asa cegah corona Dayak Tunjung masyarakat Dayak 

Ritual Tolak Bala Warga Ombau Asa untuk Cegah Corona Masuk Kampung



Pintu masuk Kampung Ombau Asa
Pintu masuk Kampung Ombau Asa

SELASAR.CO, Kutai Barat - Berbagai cara dilakukan untuk melawan musuh tak terlihat seperti virus corona. Salah satunya yang dilakukan masyarakat adat Dayak di Kampung Ombau Asa, Kabupaten Kutai Barat. Mereka menggelar ritual tolak bala, Belian.

Dikutip dari wikipedia, Belian adalah upacara tradisional yang dilakukan masyarakat Dayak, untuk meminta pertolongan terhadap roh-roh makhluk halus di sekitar mereka, sekaligus arwah leluhur serta penguasa atas (lahtala) dan penguasa bawah (uwokng). Dalam praktiknya, mereka mengumandangkan mantera-mantera magis dan sakral yang diiringi musik serta tarian. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Dayak amat menjaga keseimbangan antara kehidupan dunawi dengan metafisik.

Sean, seorang warga yang menjadi relawan menjaga posko di pintu masuk Kampung Ombau Asa menjelaskan, ritual ini bertujuan mengusir segala hal yang buruk masuk ke kawasan kampung mereka. Apalagi kian merebaknya wabah virus Covid-19, sehingga dengan ritual tolak bala diharapkan virus tidak masuk ke perkampungan.

Ritual tolak bala, kata Sean, telah ada sejak zaman nenek moyang. “Ritual ini tidak dapat dilaksanakan sembarangan. Misalnya jika ada wabah seperti ini, baru bisa dilaksanakan. Ritual ini pernah dilaksanakan dahulu di kampung kami sekitar 30 tahun yang lalu,” kenang Sean saat diwawancara media ini Kamis (9/4/2020) sore.

Usai mengadakan ritual tolak bala, selanjutnya warga di Kampung Ombau Asa mengikuti pantangan (tuhing): tidak beraktivitas di luar rumah. Tuhing ini telah lama ada dalam tradisi suku Dayak Tunjung. Sehingga, tuhing atau istilah modernnya karantina wilayah, bukanlah hal baru bagi masyarakat di Kutai Barat.

Saat akan memasuki Kampung Ombau Asa, kita akan bertemu dengan sekelompok relawan atau masyarakat adat posko. Jika ada tamu ke kampung ini, sudah pasti akan terhenti oleh tali yang dibentangkan menutup jalan, terbuat dari tumbuhan menjalar serta rerumputan. Selain itu, di kanan kirinya terdapat patung penyanggah yang bentuknya cukup besar. Ada juga patung berukuran kecil diikat dalam jumlah cukup banyak, melambangkan keterwakilan masyarakat di dalam kampung.

“Ritual tolak bala artinya menolak berbagai bentuk bahaya yang dapat mengancam keselamatan warga kampung. Apalagi saat ini terdapat wabah Covid-19, sehingga dengan adanya tolak bala diharapkan tidak akan masuk ke dalam kampung. Patung yang besar ini maknanya patung penyanggah yang akan melawan hal-hal yang tidak diinginkan, dan yang kecil merupakan perwakilan dari setiap masyarakat yang ada," ungkap Sean.

Tampak di posko itu, jalan ditutup oleh masyarakat adat atau relawan sehingga setiap orang yang akan melintas tidak dapat masuk ke dalam kampung dan harus memutar balik kendaraan mereka.

Tuhing di Kampung Ombau Asa dilaksanakan selama dua hari dua malam. Sehingga, masyarakat sekitar tidak satu pun yang keluar rumah meskipun sekadar ke rumah tetangga. Masyarakat juga pantang beraktivitas seperti menebang pohon, menangkap ikan, dan memotong hewan.

“Tuhing itu dalam bahasa Tunjung artinya pantangan. Selama tuhing, masyarakat tidak boleh beraktivitas di luar rumah, tidak memotong kayu hidup, tidak boleh memancing atau mencari ikan, memotong ayam atau sejenisnya. Tuhing ini dilaksanakan selama dua hari. Jika melanggar, maka akan ada sanksi atau denda adat,” tambah Sean.

Beberapa warga yang datang untuk berkunjung ke kampung Ombau Asa terpaksa memutar balik kendaraan mereka. Salah satunya Hendri yang tidak mengetahui kegiatan ini. Ia datang jauh dari kampung Intu Lingau, Kecamatan Nyuatan.

Padahal ia ingin bertemu keluarga di Ombau Asa, tapi karena sedang ada ritual tolak bala, terpaksa ia memutar balik kendaraannya. Hendri mengaku sangat menghargai ritual adat yang dilakukan di kampungnya, sebagai upaya menangkal virus corona.

“Saya juga termasuk masyarakat adat dan warga asli sini (Ombau Asa). Saat ini saya tinggal di Intu Lingau bersama istri saya. Tadinya saya mau ke tempat keluarga, karena ada tuhing di sini, jadi saya tidak masuk kampung dulu sampai tuhing ini selesai. Kami sangat menghargai ritual adat seperti ini dan ini merupakan keyakinan masyarakat adat,” terangnya.

Untuk diketahui, ritual seperti ini tidak hanya dilakukan di kampung Ombau Asa, namun hampir di seluruh kampung di Kutai Barat.

Penulis: Mdn
Editor: Awan

Berita Lainnya