Utama

rapid test tarif rapid test APD Kemenkes 

Tarif Maksimal Rapid Test 150 Ribu Belum Bisa Diberlakukan di Kaltim



Ilustrasi pengambilan sampel uji Rapid Test. ANTARA FOTO/HENDRA NURDIYANSYAH/HP
Ilustrasi pengambilan sampel uji Rapid Test. ANTARA FOTO/HENDRA NURDIYANSYAH/HP

SELASAR.CO, Samarinda - Kementerian Kesehatan menetapkan tarif tertinggi pelaksanaan tes cepat (rapid test) virus corona senilai Rp 150 ribu. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 yang ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo tanggal 6 Juli lalu.

Dalam surat tersebut, Kemenkes menjelaskan aturan ini ditujukan agar masyarakat tidak merasa dimanfaatkan beberapa pihak untuk mencari keuntungan. Kemenkes menjelaskan, besaran tarif Rp 150 ribu itu hanya berlaku bagi masyarakat yang melakukan rapid test antibodi atas permintaan sendiri.

Pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi dan bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. “Agar fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengikuti batasan tarif tertinggi yang ditetapkan,” demikian isi poin keempat edaran tersebut.

Kemenkes juga menjelaskan tes cepat hanya menjadi penapisan awal dan banyak dilaksanakan masyarakat yang akan melakukan aktivitas perjalanan. Untuk itu pemerintah mengeluarkan aturan agar mereka mudah mendapatkan pemeriksaan.

Dikonfirmasi terkait implementasi surat edaran tersebut di Kaltim, Andi M Ishak selaku kepala Dinkes Kaltim mengaku SE tersebut belum dilengkapi waktu pemberlakukan. “Edaran ini dari pusat, juga tidak diiringi dengan penjelasan karena masih menimbulkan pertanyaan kapan mulai berlakunya,” ujar Andi, Kamis (9/7/2020).

Juru Bicara Tim Gugus tugas Covid-19 Kaltim ini juga mempertanyakan, apakah ada tidaknya masa transisi mengingat sudah banyak rumah sakit yang membeli perangkat rapid test dengan harga yang lebih mahal.

“Apakah tidak ada masa transisi untuk mengantisipasi harga rapid test yang sudah dibeli lebih mahal dari batas yang ditetapkan. Tapi kami akan mengawal kebijakan ini untuk dapat terlaksana, namun juga tidak merugikan penyedia layanan,” tambah Andi.

Meski begitu, dia memperkirakan edaran ini akan sulit terlaksana. Mengingat meski pemerintah sudah mengatur tarif atas untuk pengguna rapid test oleh masyarakat pribadi, namun pemerintah pusat belum menetapkan harga jual rapid test dari distributor ke fasilitas kesehatan.

Sementara diungkapkan Andi, untuk harga rapid test yang diperoleh rumah sakit atau penyedia layanan, alat ini per unitnya dijual dengan harga termurah Rp 123 ribu (jumlah terbatas). Selebihnya dijual di atas Rp 200 ribu. Belum lagi, penyedia layanan juga harus menyediakan APD bagi petugas medis yang mengambil sampel, yang hanya dapat digunakan satu kali pakai.

“Surat edaran bisa dilakukan dengan tegas, apabila (pemerintah) pusat sudah mengatur harga jual tertinggi rapid test dengan jumlah yang cukup. Tapi kalau ini belum ada karena mengingat harga rapid tes masih di atas batas harga layanan, tentu kami tidak bisa memaksa karena itu akan merugikan pemberi layanan,” pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya