Olahraga

RUU SKN revisi undang undang tindihnya hukum olahraga Lex Sportiva komisi-x-dpr-ri hetifah 

Hetifah Soroti Tumpang Tindih Hukum untuk Revisi UU Sistem Keolahragaan Nasional



Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI
Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI

SELASAR.CO, Jakarta – Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) dinilai perlu direvisi. Sehubungan hal tersebut, Panja Revisi UU SKN mengadakan rapat dengan pakar bidang keolahragaan, Rabu (8/7/2020) lalu.

Eko Kristiyanto, sebagai pakar keolahragaan, hadir dalam rapat tersebut guna menjelaskan urgensi perubahan UU SKN terkait tumpang tindihnya hukum olahraga atau Lex Sportiva. Eko yang kini bekerja di Puslitbangsiskumnas Kemenkumham berpendapat bahwa UU No 3 tahun 2005 terkait SKN sudah tidak relevan, karena terdapat dua mahzab hukum yang saling bersinggungan.

“Lex sportiva berfokus pada lembaga olahraga, misal FIFA dan PSSI. Di lain sisi, hukum nasional yaitu UU dan hukum internasional adalah perjanjian internasional yang Indonesia ratifikasi. Di sini, satu hukum dengan hukum yang lain bisa tidak sejalan,” ujar Eko yang juga seorang Bobotoh Persib.

Sebagai pengamat persepakbolaan Indonesia, ia memberikan contoh kasus pembekuan PSSI yang pernah terjadi.

“Dulu PSSI pernah dibekukan oleh FIFA. Kemenpora, sebagai pemerintah di Indonesia walau sudah beritikad baik, tetap tidak bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Jadi terdapat kebingungan apakah seharusnya PSSI mengikuti aturan FIFA atau UU Indonesia? Oleh karena itu, sebaiknya sistem hukum olahraga di negara kita mulai memberikan kewenangan yang lebih kepada organisasi olahraga nasional untuk membuat aturan sendiri,” paparnya.

“Saya berterima kasih kepada Bu Hetifah yang meminta masukan terkait pasal pidana. Ternyata kita punya UU yang masih aktif terkait pidana yaitu UU Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. UU ini  masih relevan digunakan untuk menindak pelaku suap di ranah olahraga,” lanjut Eko.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyoroti porsi wewenang federasi dan potensi yang akan ditimbulkan.

“Desentralisasi wewenang terhadap komunitas berpotensi membuat satu komunitas merasa lebih benar dari komunitas lain. Karena itu, jika memang porsi wewenang federasi olahraga di Indonesia ingin ditingkatkan, kita harus membahas secara detail hal tersebut,” jawabnya.

“Masukan dari Kang Eko terkait definisi dalam UU SKN yang belum jelas pun perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Pada RUU SKN, kita perlu memperjelas definisi olahraga amatir, olahraga profesional, olahraga prestasi, serta olahraga pendidikan, agar tidak terjadi kesalahpahaman hukum ke depannya.” pungkas Legislator Kaltim ini.

Penulis: Redaksi Selasar
Editor: Awan

Berita Lainnya