Kolom

hasil tes laboratorium Hasil lab COVID-19 COVID-19 Positif corona Meninggal corona Konspirasi Covid-19 

Sadar Atau Tidak, Pemerintah Ikut Menyuburkan Teori Konspirasi Covid-19



Ilustrasi penanganan pasien Covid-19.
Ilustrasi penanganan pasien Covid-19.

“Bapak saya memang sudah lama sakit, komplikasi (berbagai penyakit berat seperti diabetes dan stroke), sudah sering keluar masuk rumah sakit. Tiba-tiba masuk rumah sakit lagi lalu meninggal, langsung divonis Covid-19. Hasil tesnya belum keluar. Kami diminta pemakaman beliau sesuai protokol Covid. Kalau Mas jadi saya, bagaimana?” 

DUA kali saya mendapat pertanyaan serupa secara langsung, dari keluarga pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Dua kali pula saya harus terdiam beberapa detik, tak sanggup menjawabnya. Kejadian pertama di Kutai Kartanegara (selanjutnya saya sebut pasien KKR) awal Juli, kedua di Samarinda (SMD) Agustus ini.

Mereka menanyakan hal itu, karena pemberitaan SELASAR terkait pemakaman orangtua mereka dengan cara biasa. Hasil swab terkonfirmasi positif baru keluar belakangan setelah jenazah dikebumikan. Warga setempat pun heboh. Pemerintah sibuk melakukan tracing dan testing.

Tapi bukan itu persoalannya. Pihak keluarga merasa ada yang tidak beres dalam penanganan kasus yang mengarah Covid-19. Untuk kasus KKR, yang dirawat di salah satu rumah sakit di Samarinda Seberang, pasien ditempatkan di ruang isolasi. Tapi berisi dua orang. “Kan aneh, Mas. Masa ruang isolasi isinya dua orang,” kata putra pasien KKR.

Padahal, saat itu hasil swab pasien belum keluar. Artinya, belum terkonfirmasi positif Covid-19. Baru gejala klinisnya yang mengarah kesana. Bagaimana jika satu dari dua orang di ruangan itu ternyata negatif? Dia tentu berpotensi tertular dari pasien di sebelahnya. Apalagi, pasien KKR tidak bepergian kemana-mana sebelum masuk RS. Anggota keluarga pun, setelah pasien meninggal, semua hasil swabnya negatif. Wajar jika sang anak bertanya, darimana ayahnya tertular Covid-19?

Sementara untuk kasus di Samarinda, pasien masuk rumah sakit dalam kondisi yang memang sudah kritis karena memiliki riwayat diabetes dan stroke. Kemudian dilakukan rapid test dan rontgen. Terdapat bercak di paru-paru. Dokter menyimpulkan gejala mengarah Covid-19. Tetapi, penanganan rumah sakit swasta di Samarinda Ulu itu terkesan biasa saja. Anggota keluarga pun dibiarkan dekat-dekat dengan pasien.

“Dokter tidak pakai APD, bahkan saya keluar masuk ruangan biasa saja (tidak dilarang). Pas sudah mau dipindah ke ruangan khusus, baru satu orang pakai APD. Belum pindah ke ruangan, ayah saya sudah meninggal,” terang putra almarhum.

Persoalan itu bisa dilihat dari dua perspektif berbeda. Dari kaca mata keluarga pasien, hal itu mencurigakan. Dan benar, mereka memang curiga. Bahkan kepada saya, sempat menyebut-nyebut dugaan hal itu terkait insentif bagi rumah sakit yang merawat pasien Covid. Saya ber-husnuzon itu tidak benar. Tapi saya bisa memaklumi, bagaimana kondisi psikologis mereka. Apalagi untuk kasus di Kukar, beberapa hari sebelum KKR meninggal, istrinya berpulang lebih dulu. Alangkah terpukulnya keluarga mereka.

Berikutnya, dari sudut pandang rumah sakit, bisa jadi tidak jalannya prosedur itu terkait kemampuan manajemen menyediakan fasilitas. Termasuk APD, ruang isolasi, dan lain-lain sebagainya. Mereka harus menanggung risiko yang tidak ringan karena keterbatasan itu.

Negara bukan tidak punya uang untuk itu, hanya mungkin aparatnya yang kurang becus. Dana hampir 700 triliun disiapkan. Sampai sekarang baru sekitar 20 persenan yang terserap. Sementara banyak rumah sakit kewalahan melawan Covid-19 karena “senjata” tidak mumpuni. Akibatnya banyak pasien tidak tertangani dengan baik.

Awan, pemimpin redaksi Selasar.co

MISTERI HASIL LAB

Satu hal lagi yang membuat keluarga pasien, terutama yang meninggal dengan status positif Covid-19, memilih bersikap denial. Yakni, bukti hasil tes swab yang tidak diberikan kepada mereka. Seharusnya, itu menjadi hak keluarga pasien.

Saya kira, jika komunikasi berjalan baik antara Gugus Tugas dengan keluarga dari pasien meninggal, kecurigaan-kecurigaan mengarah ke teori konspirasi Covid-19 akan berkurang. Lha ini, keluarga tidak pernah diberi bukti bahwa pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Pemberitahuan seringkali hanya lewat lisan. Jika pun diminta, yang keluar hanya surat keterangan dari Dinas Kesehatan setempat, bahwa yang bersangkutan memang positif Covid-19.

Anda mungkin mencibir mereka yang tidak percaya anggota keluarganya positif Covid, padahal dokter dan Dinkes sudah menyatakan hal itu. Menuding mereka sebagai orang-orang yang sudah termakan teori konspirasi Covid-19 yang disebarluaskan beberapa pesohor. Tapi Anda harusnya melihat langsung bagaimana ekspresi mereka. Ekspresi sedih kehilangan orangtua, ekspresi kecewa dengan buruknya komunikasi pemerintah dan rumah sakit, ekspresi hati terluka akibat efek sosial yang mereka terima.

Mengapa sulit sekali memberi bukti berupa foto/scan/fotocopy hasil swab kepada keluarga pasien? Seorang kawan, yakni dokter yang bertugas di wilayah penanganan Covid menuturkannya kepada saya.

Oleh Gugus Tugas Kabupaten/Kota, kata dia, penerbitan hasil swab dapat berupa surat keterangan hasil tes ber-kop Dinkes. “Surat ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan data nasional di all record (data resmi pasien terkonfirmasi Covid-19 Kementerian Kesehatan),” jelasnya.

Sementara pembuatan dokumen hasil laboratorium terpusat di provinsi. Gugus Kabupaten/Kota tidak memiliki hak akses atas hasil tes, tetapi mengetahui hasilnya dari koordinasi dengan Gugus Provinsi.

Jika memang begitu persoalannya, bukankah tidak sulit Gugus Tugas Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Gugus Tugas Provinsi untuk meminta hasil lab pasien yang diminta anggota keluarga itu? Apalagi untuk kasus pasien yang sudah meninggal, dan meninggalkan “persoalan” karena terlanjur dimakamkan secara umum. Seharusnya kasus semacam itu menjadi prioritas. Jika sample masih mengantre, dahulukan. Jika hasil sudah keluar, segera informasikan bukti lab kepada keluarga pasien.

“Sebentar lagi kita akan launching penerbitan hasil lebih cepat. Hasil swab langsung terkirim ke nomor kontak pasien berupa link secara otomatis setelah pemeriksaan selesai,” ujar kawan saya lagi. Mudah-mudahan saja demikian.

Sejauh penanganan pemerintah masih seperti sekarang, yakinlah teori konspirasi Covid-19 akan makin tumbuh subur. “Saya dulu percaya Covid, Mas. Tapi gara-gara kejadian yang saya alami sendiri ini, saya jadi tidak percaya Covid itu ada!” kata putra pasien SMD di depan saya dengan nada agak tinggi. “Nggak ada itu, Covid!” tegasnya.

Ketidaktransparanan, komunikasi yang buruk, birokrasi yang seret dalam penanganan Covid-19, harus diperbaiki. Karena semua itu sangat tidak Jokowi banget. Bukan begitu, Pakde? Semoga habis ini saya dapat Bintang Mahaputera Nararya.

Penulis: Awan

Berita Lainnya