Utama

Konferensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB Perubahan Iklim Conference of the Parties Glasgow Scotland Pegiat Lingkungan COP26 

Pegiat Lingkungan: Kaltim Jadi Wilayah Pengerukan dan Penghancuran Hutan yang Masif



Pegiat lingkungan di Kaltim membentangkan spanduk berisi pesan perubahan iklim. (SELASAR FOTO/Istimewa).
Pegiat lingkungan di Kaltim membentangkan spanduk berisi pesan perubahan iklim. (SELASAR FOTO/Istimewa).

SELASAR.CO, Samarinda - Pada tanggal 31 Oktober-12 November akan terselenggara Konferensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB yang juga disebut Conference of the Parties (COP) ke-26 di Glasgow Scotland yang dihadiri oleh 196 negara penandatangan. 

Tujuan konferensi tersebut di setiap tahunnya adalah agar para pemimpin negara berkomitmen untuk menahan laju pemanasan global dengan mengurangi pengeluaran gas rumah kaca (GRK). Tapi sejak diselenggarakan, emisi gas rumah kaca terus meningkat dan keadaan bumi makin memprihatinkan. 

Sayangnya dengan jalur yang sekarang, dimana para politisi terus membawa konflik kepentingan para pemain industri ekstraktif di seluruh dunia, COP26 tidak akan bisa menyelesaikan krisis iklim dan hanya akan menjadi latihan greenwashing terbesar yang pernah dilakukan oleh pemerintah dunia. 

“Jika COP bisa mengatasi krisis Iklim mengapa dibutuhkan sampai 26 kali pertemuan dan membahas yang itu-itu saja. Dimana kata kata besar dan janji palsu terus diutarakan, akan tetapi tanpa aksi nyata dan seakan tidak mengerti sains sambil terus membiarkan keadaan makin memburuk,” ujar Pegiat lingkungan dari Extinction Rebellion Bunga Terung Kaltim, Maulana Yudhistira. 

Dirinya menambahkan, Kaltim sendiri terus menjadi wilayah pengerukan dan Penghancuran hutan yang masif dari tahun ketahun, padahal penyebab utama Krisis iklim adalah pembongkaran Hutan dan Pembakaran Energi dan 71% penyebab krisis Iklim hanya disebabkan oleh 100 Perusahaan dan sebagian diantaranya ada di Kaltim. 

Yang kita butuhkan adalah memastikan adanya kedaulatan masyarakat dalam sistem pembuatan kebijakan dan penentuan pembangunan para negara, melalui adanya balai masyarakat yang berdaulat, acak, adil dan representatif, terbebas dari kekuasaan terpusat dan konflik kepentingan. 

“Mari bersama-sama bersuara dan beraksi agar para pemangku kebijakan bisa cepat sadar, bahwa yang dilakukan sekarang adalah membawa kita berlari ke jurang kehancuran ekologis dan keruntuhan sosial,” pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya