Utama

Kasus DBD di Kaltim Kasus DBD Dinkes Kaltim Demam Berdarah Dengue  Kasus Demam Berdarah Dengue Teknologi Wolbachia Meninggal karena DBD 

35 Anak di Kaltim Meninggal karena DBD, Samarinda Jadi yang Tertinggi



Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, Jaya Mualimin.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, Jaya Mualimin.

SELASAR.CO, Samarinda – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat sepanjang 1 Januari hingga 2 November 2022 ada sebanyak 35 anak di Kaltim yang meninggal usai terkena penyakit Demam Berdarah Dengue atau DBD. Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, Jaya Mualimin.

“Tapi Alhamdulillah setelah kami lakukan beberapa upaya saat ini setiap minggu sudah tidak ada lagi kasus meninggal dunia, karena biasanya ada 1-2 kasus meninggal dunia di Kaltim. Di November sudah 35 anak dengan DBD yang meninggal dunia,” ujar Jaya pada Jumat, 3 Desember 2022 kemarin.

Berikut Data Sebaran Kasus DBD Kabupaten/kota di Kaltim Per 2 November 2022:

Berau: pasien 473, meninggal 2
Kubar: pasien 308, meninggal 5
Kukar: pasien 729, meninggal 5
Kutim: pasien 264, meninggal 1
Mahulu: pasien 111, meninggal 3
Paser: pasien 51, meninggal 0
PPU: pasien 66, meninggal 2
Balikpapan: pasien 970, meninggal 5
Bontang: pasien 513, meninggal 3
Samarinda: Pasien 1.521, meninggal 9

Dirinya pun meminta kepada orang tua untuk tidak meremehkan gejala seperti yang biasa ditunjukan pada anak saat terkena flu. Gejala tersebut ialah demam, batuk dan pilek.

“Kita juga jangan mengabaikan gejala panas saat anak sakit, atau saat anak batuk dan pilek,” terangnya.

Saat ini Dinkes Kaltim ia sebut terus melakukan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini. Karena jika penanganan DBD terlambat mendapat penanganan lebih dari satu minggu, dikhawatirkan dapat terkena Dengue Shock Syndrome (DSS).

“Kami lakukan edukasi ke masyarakat, dan kita turun cepat. Karena DBD ini kan kalau satu minggu saja terlambat (penanganannya) bisa terkena yang namanya DSS (Dengue Shock Syndrome). Dikira penyakit batuk pilek biasa, ternyata trombositnya menurun dan lain sebagainya,” terangnya.

Untuk itu perlu dilakukan skrining awal kepada anak yang menunjukan gejala-gejala tersebut, agar langkah antisipasi bisa dilakukan sebelum anak dalam kondisi DSS.

“Jadi pada awal anak-anak panas kita sudah lakukan skrining untuk mengetahui apakah ini DBD atau tidak. Sekarang kan sudah ada Rapid Diagnosis Test (RDT) dengan menggunakan NS1. Dengan cara itu kita bisa mengendalikan bahkan mencegah kematian yang disebabkan oleh keterlambatan diagnosa,” pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya