Lingkungan
lubang tambang jatam 
Logika Jungkir Balik Rancangan Pergub Pengelolaan Lubang Bekas Tambang
Ada sekitar 1.328.337 hektare lubang bekas tambang menganga di perut Bumi Etam. Dan sejak 2011 hingga kini, 36 anak merenggang nyawa di lubang yang bersalin menjadi kolam-kolam itu. Namun, bukannya perusahaan tambang diminta bertanggung jawab menutup lubang galiannya, pemerintah justru tengah membuat aturan untuk “membebaskan” tanggung jawab tersebut. Ada logika yang jungkir balik di sana.
SELASAR.CO, Samarinda – Permasalahan void atau lubang bekas tambang menjadi isu yang sangat penting di Kalimantan Timur. Tim dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim melakukan observasi lapangan untuk memotret permasalahan penutupan lubang pasca-tambang dan melihat peluang pemanfaatan void dari berbagai aspek pemanfaatan. Hasil dari observasi ini pun telah digodok untuk dimasukkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim.
Pada Senin (25/11/2019) DLH mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Pergub pengelolaan lubang tambang yang ada di Kaltim. Mislan, Ketua Tim Rancangan Pergub Pengelolaan Void Kaltim mengungkapkan rancangan pergub ini disusun berdasarkan kegelisahan bagaimana void (lubang eks tambang) harus dikelola secara terencana dan baik.
"Jadi ini sebenarnya di peraturan daerah kan ada memperbolehkan adanya void untuk peruntukan lain. Tapi void yang boleh ditinggal ini bagaimana mengaturnya, itulah kami atur sekarang," ujarnya.
Berita Terkait
Selama ini, lanjut Mislan, merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 2013, tentang reklamasi pasca-tambang, memperbolehkan meninggalkan lubang bekas tambang seluas 10 persen.
"Nah itu pengaturannya seperti apa, jangan sampai ada orang budidaya perikanan di sana engga ngerti dengan kualitas airnya. Jadi nanti harus lengkap data terkait void yang ditinggalkan mulai dari luas, kedalaman, kualitas air, hingga flora dan fauna yang hidup di dalamnya," jelasnya.
Selama kegiatan pembahasan penyusunan Pergub yang berjalan sejak April 2019 ini, DLH sudah mengunjungi beberapa perusahaan mitra kerja. Dari tinjauan tersebut, Mislan menyebut ada perusahaan yang sudah memanfaatkan lubang bekas tambang.
"Seperti salah satu perusahaan pertambangan di Kukar, sudah ada void yang digunakan sebagai sumber air bersih untuk 2.978 sambungan rumah tangga. Kalau di Desa Jonggon, Bupati (Bupati Kukar Edi Damansyah) meresmikan penyediaan air bersih targetnya 2.000, sekarang yang sudah berjalan 600 sambungan," terangnya.
PERGUB “PEMUTIHAN” REKLAMASI TAMBANG
Adanya wacana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) terkait masalah Pengelolaan void (lubang bekas tambang) di Kaltim, turut mendapatkan perhatian dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.
Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim melihat bahwa pemerintah seolah ingin memberikan keringanan kepada perusahaan tambang. Juga membuat dana yang terkumpul untuk penutupan lubang tambang tak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, Jatam menilai, seharusnya lubang bekas tambang tersebut bukan dikelola, melainkan harus benar-benar ditutup.
“Jatam kaltim memandang bahwa Pergub ini membuat perusahaan tidak lagi perlu menutup lubang tambang. Padahal sudah jelas di dalam Perda Nomor 8 tahun 2013 tentang penyelenggaraan reklamasi pasca-tambang. Perda ini sudah menghabiskan miliaran uang rakyat. Namun implementasinya tidak terlihat, malahan ada peraturan yang mengancam perda ini dan bisa membahayakan bagi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Rupang, penggunaan istilah void bisa membuat masyarakat tidak paham. Seharusnya pemerintah tetap menamakan pergub ini memakai kata “lubang tambang”. “Ada hal yang menyesatkan dalam kosa kata,” tuturnya.
Lebih lanjut, seharusnya, Rupang menilai pemerintah fokus dalam membuat Pergub yang tegas untuk mengatasi lubang tambang, bukannya melakukan pemutihan yang membuat nyaman perusahaan tambang.
Terpisah, Herdiansyah Hamzah, pengamat hukum Universitas Mulawarman memandang isi draft Rapergub yang saat ini dibahas, dapat membuat pemegang IUP makin jauh dari jerat hukum. Kelalaian mengerjakan kewajiban reklamasi void, akan dilegitimasi oleh Rapergub ini.
"Void pencabut nyawa tidak akan ditutup dengan alasan void itu punya nilai sosial dan ekonomis, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air, budidaya perikanan, dan peruntukan lainnya (kosideran menimbang huruf c). Logika manfaat ini seperti penggugur dosa dari kejahatan para pemegang IUP yang wilayah konsesinya memakan korban," tegasnya.
Rapergub ini, lanjut dosen yang juga aktivis ini, hanya menjadi stempel bagi perusahaan untuk lepas dari jerat hukum. Reklamasi tetaplah kewajiban yang berkonsekuensi hukum, berimplikasi pidana jika memakan korban jiwa.
"Secara hukum, frase reklamasi untuk peruntukan lain (Pasal 1 angka 20), bahkan tidak dikenal dalam istilah manapun, tidak diatur dalam ketentuan peraturan di atasnya," ujarnya.
Oleh karena itu dirinya menilai jika masih dalam tahapan pembahasan, isi atau materi dari rancangan Pergub sudah tidak benar seharusnya pembahasan ini harus dihentikan. Pemerintah pun ia nilai harusnya fokus terhadap penegakan aturan reklamasi pasca-tambang.
"Kalau meminjam datanya Jatam, dari ribuan lubang tambang sekarang ada 70 persen yang belum direklamasi. Itu seharusnya yang dikejar pemerintah, bukan malah memaafkan perusahaan-perusahaan itu," tambahnya.
BANTAHAN DLH
Fahmi Himawan, Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim mengatakan, dalam peraturan menteri (Permen) Lingkungan Hidup nomor 4 tahun 2012, tentang indikator tambang ramah lingkungan memperbolehkan perusahaan pertambangan untuk meninggalkan 20 persen lubang bekas tambang, ketika berada di konsesi yang terkonsentrasi atau 30 persen ketika dia terfragmentasi dari luas konsesi.
"Kita menjaga itu, karena itu kami punya Perda yang jauh lebih ketat di Perda Kaltim Nomor 08 tahun 2013. Kita hanya memperbolehkan 10 persen, dan bukan dari luas konsesi tapi dari area yang terganggu. Tapi kita masih mempunyai masalah, 10 persen dari luas terganggu tadi ketika dia jadi void mau diapakan? Masa ditinggalkan begitu saja menjadi kolam-kolam tambang dan akhirnya menimbulkan masalah-masalah yang lain. Kami ingin pastikan 10 persen yang diperbolehkan melalui regulasi itu dimanfaatkan. Artinya void ini harus dikelola," jelasnya.
Fahmi menambahkan, perusahaan tambang ketika tidak bisa menutup lubang karena memang secara material balance tidak ada, akhirnya harus menjadi lubang, sehingga prosesnya harus direncanakan dari awal. Pihaknya pun membantah jika pembuatan pergub ini bertujuan untuk memutihkan tanggung jawab perusahaan dari kewajiban melakukan reklamasi atas lubang bekas tambang.
"Bukan untuk memutihkan void, karena memang secara teknis regulasi memperbolehkan. Sekarang 10 persen yang diperbolehkan ini, ESDM punya Permen Nomor 7 tahun 2014 yang memperbolehkan void kalau tidak direklamasi dan revegetasi, bisa untuk peruntukan lainnya. Peruntukan lainnya ini bisa untuk area permukiman, pariwisata, budidaya, untuk sumber air. Kemudian sudah ada turunannya sekarang, mereka buat Kepmen (keputusan menteri) ESDM Nomor 1827 tahun 2018, tetap sama semangatnya bisa untuk empat peruntukan tadi. Dan sekarang mereka bisa meningkatkan 10 persen ini kalau tidak dimanfaatkan," terangnya.
Ia pun menambahkan, jika nantinya poin-poin yang diusulkan tidak dapat disahkan menjadi Pergub, pihaknya akan mengarahkan hasil kajian yang ada ke dokumen lingkungan. "Termasuk nanti kami akan sosialisasikan ke kabupaten-kota, sehingga ketika mereka mengevaluasi dokumen lingkungan itu bisa sama dengan level provinsi," terangnya.
Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan