Utama

Unjuk rasa UU Ciptaker Penolakan UU Ciptaker RUU Ciptaker UU Ciptaker Unjuk rasa Demonstrasi 

Ini Pasal-pasal yang Disoal Mahasiswa Kaltim dalam Aksi Tolak UU Cipta Kerja



Pada hari kedua pelaksanaan aksi Tolak UU Cipta Kerja di Samarinda, Rabu (7/10/2020), ratusan Mahasiswa dari beberapa universitas di Kaltim turun ke jalan.
Pada hari kedua pelaksanaan aksi Tolak UU Cipta Kerja di Samarinda, Rabu (7/10/2020), ratusan Mahasiswa dari beberapa universitas di Kaltim turun ke jalan.

SELASAR.CO, Samarinda - Pada hari kedua pelaksanaan aksi Tolak UU Cipta Kerja di Samarinda, Rabu (7/10/2020), ratusan Mahasiswa dari beberapa universitas di Kaltim turun ke jalan. Setelah hari sebelumnya dilaksanakan di depan Kantor Gubernur Kaltim, pada hari ini aksi digelar di simpang empat Mall Lembuswana.

"Hal ini untuk menunjukkan kepada pemerintahan yang ada di pusat sana bahwa Kaltim jelas menolak UU yang telah disahkan tersebut. Aksi ini merupakan bentuk dari sikap kami," seru Muhammad Akbar, Humas Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam).

Dari keterangan tertulis Aliansi Mahakam, terdapat beberapa poin/pasal yang mereka persoalkan di UU yang disahkan DPR pada 5 September 2020 ini.

"Regulasi ini berpotensi akan kembali menggerus hak-hak masyarakat terutama kaum buruh. Omnibus Law diinisiasi hanya untuk kepentingan iklim yang kondusif bagi investasi, kepentingan korporasi serta akumulasi para pemodal," terang Akbar.

Ditambahkannya, upaya mendorong Omnibus Law Cipta Kerja menjadi bukti ketidakmampuan negara dalam mengelola dengan baik sumber daya alam, hingga akhirnya membuat rakyat semakin tergerus. Hal ini ia katakan terlihat jelas dalam pasal-pasal UU tersebut.

"Pertama, mengenal upah minimum dan upah sektoral. Dalam pasal 88 huruf c dan 88 huruf d draf RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Penentuan upah minimum hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi provinsi. Padahal sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) 78/2005 mengatur penetapan upah provinsi serta kabupaten/kota memperhatikan standard kualitas hidup layak hingga skup kabupaten/kota. Adapun upah minimum sektoral. seperti di sektor pertambangan dan perkebunan, dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja," jelasnya.

Kedua, memangkas pesangon buruh yang di PHK. Nilai pesangon bagi pekerja dalam omnibus law turun karena pemerintah menganggap UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tidak implementatif.

"Ketiga, penghapusan izin atau cuti khusus yang tercantum dalam UU 13/2003. Penghapusan ini seperti tidak masuk kerja saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengumumkan, pembaptisan anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan, hingga anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia," tambahnya.

Keempat, mengenai nasib dan status kerja para buruh outsourcing semakin tidak jelas dalam omnibus law. Pekerja alih daya atau outsourcing yang sebelumnya diatur pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan dihapus. Kedua pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan yang lain melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh secara tertulis. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerja yang dibuat secara tertulis.

"Pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus pada RUU Cipta Kerja. Padahal klausul ini mencantumkan sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum. Lalu perubahan pada Pasal 151 UU Ketenagakerjaan juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pihak perusahaan," pungkasnya.

Penulis: Yoghy Irfan
Editor: Awan

Berita Lainnya